Ini “Cuma” Kista

Beberapa hari ini, saya keputihan. Bukan karena ketebelan make bedak, tapi karena…eh, ga tau juga ding karena apa :hammer:. Akhirnya saya nyoba periksa ke dokter kandungan. Dokternya emak-emak, rada galak pulak. Abis diperiksa, saya diajak tiduran. Udah curiga aja tu, dalem hati teriak-teriak kayak di sinetron, “Ini gw mau diapain, dooookk??? Gw normal lho, dok, masih demen laki-laki!”. Eh taunya dokternya cuman buka perut saya, ngolesin semacam gel gitu, trus dia nempelin alat ke perut. Di monitor keliatan tu daleman perut saya. Saya parno dong. Ini kenapa? Ada apa? Saya siapa? Saya di mana? *lah, jadi amnesia*.

Setelah beberapa saat nempel-nempelin alat ke perut saya, si dokternya bilang, “Ini ada kista…”

Ngookk… Si dokter ngemeng begitu enteng amat kayak bilang, “Upil kamu keliatan tu”.

Trus saya digiring ke meja konsultasi. Dokternya nunjukin hasil USG, “Ini ada kista di ovarium sebelah kanan. Ukurannya 3,3 cm.”

Saya cengok. Dalam hati mengumpat karena saat itu periksa nggak bareng suami (si mamas lagi training meditasi di luar kota, HP-nya disita).

Dokternya sih bilang, karena kistanya di ovarium, masih perlu observasi. Kalau ukurannya sampe 5 cm, harus operasi. Jadi, sementara ini, diliat dulu, ini si kista bakal gede, ngecil, apa ntar ilang sendiri. Nah, terus, yang saya khawatirkan itu adalah masalah kehamilan. Etapi kata dokternya ga masalah tu. “Hamil mah hamil aja”, katanya (gile ye, dokternya ngemengnya enteng banget, kagak tau kite hampir pingsan apah??? -___-). Trus kata si dokter lagi, biasanya kista itu ada yg masalah hormon, jadi ntar bisa kempes sendiri. Trus, ada juga yg ntar kl hamil, pas melahirkan si kistanya malah ikut keluar. Jadi ga bahaya. Manajer saya dulu juga pernah ada masalah kista gitu, tapi letaknya di saluran indung telur. Jadi meskipun kecil, harus diangkat karena dia menyumbat.

Yah… Meskipun gitu, saya sempet syok kemaren. Karena ga ada yg nemenin juga pas periksanya sih. Jadi nih ya, ntar kalo pada mau periksa ke dokter, saya saranin, ngajak temen deh. Ya kita sih pengennya baek-baek aja, tapi kalo ternyata ada kabar buruk, jadi ga cengok-cengok amat dan ada shoulder to cry on. Kemaren, saya kan nggak enak yak kalo tiba-tiba nubruk satpam trus nangis begitu aja :lol:.

Humm… yah, wish me luck aja, ya. Wish for my health juga kalo bisa :D.

A [Late] Birthday Post

Dem. Karena terlalu sibuk bernapas, saya gak sempet posting akhir tahun kemarin. Padahal, hitungan usia saya sudah bertambah lagi. Orang-orang sudah datang dan pergi lagi. Kehilangan menyerang lagi. Entah berapa liter air mata saya buang tahun ini. Entah berapa juta kali saya memalsukan ekspresi.

Mungkin, saya lah yang patut disalahkan atas segala hal yang terjadi dalam hidup saya. Mungkin, selama ini, saya lah masalah itu. Mungkin, saya lah mendung yang kehadirannya selalu mengundang hujan. Mungkin, saya punya kemampuan menyerap kebahagiaan dan meninggalkan orang mati lemas diliputi kesedihan, ketakutan, kenangan paling buruk, dan keadaan tanpa harapan.

Dan saya paham sekali kalau banyak yang tak tahan dan memilih pergi.

Ah, whatever. By the way, happy birthday, dear me. Try to stay alive, would you?

Jangan Menyerah Dulu =)

Permasalahan tiap hari, pekerjaan, kebijakan pemerintah, ketergantungan, depresi, uang, membuat kita merasa tidak punya kendali atas hidup. Namun, kita selalu bisa membangun ‘pemberontakan’ kecil. Kita mengatur ringtone handphone, mengecat rumah, mengoleksi benda-benda kecil. Kita memilih.

Sekecil apa pun pilihan yang kita pilih dapat membuat kita merasa [semacam] berdaya. Karena itulah, kita mesti tetap melawan keadaan meski akhirnya harus gagal. Setidaknya, kita kalah dengan kepala tegak. Lagi pula, kegagalan kadang adalah satu-satunya cara mendapatkan keinginan kita. Selain itu, tidak ada yang benar-benar mutlak kecuali kematian. Tidak pula takdir.

Kita mungkin tidak terlalu pintar, tapi kita jauh lebih pintar daripada anjing dan tikus. Jadi, jangan menyerah dulu… =)

 

[diterjemahkan secara bebas dari: sini. thanks to om Eru for the link.]

Buaya

Teman-teman, sanak famili, dan sepupu-sepupu saya biasa memanggil beliau dengan julukan: BUAYA. Bukan, bukan karena Ayah saya itu playboy atau buaya darat. Tapi, karena dulu waktu mudanya, Ayah saya hobi nangkepin buaya. Nah, pada suatu ketika, Ayah saya mengintai seekor buaya mungil (disingkat bumil, ya :D) yang sedang berenang-renang manis di sungai. Beliau mulai mengambil ancang-ancang untuk menangkap si bumil. Temannya sudah menunggu di pinggir sungai dengan tali buat mengikat moncong si bumil. Hap! Tertangkaplah si bumil. Ayah saya jumawa. Ia dan temannya bersiap mengikt moncong si bumil.

Lagi ngobrol penuh suka cita gitu, tiba-tiba datanglah sang Induk bumil dari sungai. Pelan…pelan…matanya penuh amarah dan dendam. Ayah saya dan temannya buru-buru naik ke darat sambil membawa si bumil.  Kemudian, terjadilah pertarungan itu. Ayah saya bergulat dengan sang induk buaya! Ekor sang induk melecut punggung Ayah saya. Untunglah teman Ayah saya itu setia kawan. Dia nggak langsung kabur begitu aja waktu Ayah saya bergulat dengan sang induk buaya. Dengan (di) berani (berani kan), sang teman meraih batu dan membidik mata buaya besar itu. Syukurlah, kena! Sang induk puna meraung kesakitan, ada celah buat Ayah saya untuk kabur. Dan beliau tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka berdua lari, lari, dan terus lari sampai di perkampungan penduduk. Ayah saya selamat dan ia tak kapok. Beliau masih berburu buaya, tapi jadi lebih hati-hati dalam perburuannya. Continue reading

Life’s Never Fair, Let’s Just Laugh

Hidup itu bukan bagai sekotak cokelat seperti yang Forrest Gump pernah bilang. Ia lebih mirip sekotak Kacang Segala Rasa-nya Bertie Bott. Ada rasa cokelat, mint, dan bayam. Ada rasa muntah, ingus, dan kotoran kuping.

Sebenarnya, setelah bertahun-tahun hidup, saya mulai merasa terbiasa dengan lelucon dan kejutan hidup. I curse sometimes, yes, meski cuma di dalam hati. Tapi mau buat apa lagi kalau sudah terlanjur terjadi? Apa yang terjadi mungkin memang sudah seharusnya terjadi. Tinggal pontang-panting kita-nya aja buat coba nerima meski sambil misuh-misuh.

Senin kemarin, saya ke kantor dengan badan remuk. Akumulasi flu, membabu tanpa istirahat beberapa hari Minggu, dan mata merah (sepertinya sakit mata, bangun tidur mata saya lengket dengan belek, soalnya). Pagi itu saya berada dalam mood “senggol-bacok”. Saya bahkan merasa bisa matahin leher orang, saat itu.

Tuhan Maha Adil, mungkin Maha Iseng juga. Baru buka pintu ruangan, saya sudah dicecar pertanyaan tak penting dari orang yang juga tak punya peran penting dalam hidup saya dan tentunya saya jawab dengan agak sewot. Saya, yang kepengen bunuh orang, merasakan keinginan amat kuat untuk melemparkan monitor, kursi, meja atau apa pun yang bisa saya jangkau. Tapi, saya tahan. Cara saya untuk nggak menyembur marah mungkin bisa kamu contoh. Saya menghindari kontak mata dengan orang yang menggelitik saraf marah saya. Saya tidak lihat wajahnya. Saya bicara dengan satu atau dua patah kata saja (mostly “enggak” dan “nggak tau” :)).

Pagi itu saya mohon dengan sangat agar Tuhan membuat saya terhibur. Akan tetapi, siapa yang bisa menebak selera humor-Nya? Dia bahkan tega godain saya di sebuah klinik autis dengan memaksa saya melihat kotoran sendiri berputar-putar di WC.

Dan “jadi, maka jadilah”, titah-Nya. Bukannya mengirimkan orang untuk menghibur saya, Dia malah membuat saya menghibur orang lain dengan ketololan bawaan saya.

Tempat saya bekerja adalah rumah dua tingkat yang dialihfungsikan sebagai kantor. Ruangan saya di lantai dua. Ada WC di sebelah ruangan. Saya kebelet. Saya pipis di sana. Belum usai membersihkan diri, pintu WC digedor dahsyat. Buru-buru saya beberes. Waktu saya buka pintu, ada mas tukang yang siap protes, “Maaf, Mbak, WC-nya lagi dibenerin.” Saya, cuma bisa bilang, “Oh, maap ya, Mas, saya nggak tau.”

Tawa meledak dari ruangan sebelah. Perasaan saya gak enak, tapi tetap balik ke kursi dan pasang headset. Baru duduk berapa detik, YM berkedip.

mas hap: apa yg sudah kau lakukan barusan? sampai tukangnya teriak2

yoan: pipis

mas hap: 😆

yoan: tapi aku kan pipisnya di tempat yg sudah disediakan

mas hap: anak2 griya pada sakit perut semua ni gara2 kelakuanmu… 😆 mati ketawa =))

yoan: jah. emangnya aku salah ya? *masih tidak menyadari efek tindakanku*

mas hap: lubang salurannya tu lagi dibongkar di bawah

yoan: hoo…

yoan: ga dikasi pengumuman… *masih ga ngerasa salah*

mas hap: jadinya pas kamu pipis td tukangnya teriak…”eh…eh…”

mas hap: kita di GK pertama bingung knp kok tukangnya kyk kesetrum gitu ekspresinya…

yoan: 😆

mas hap: stlh tau ternyata dirimu biang keladinya kita ngakak semua

yoan: aduuhh… berarti aku salah banget ya? huehehe… kenapa ga sekalian aku bakar aja ini rumah ya…

mas hap: sambil ngebayangin gmn kalo kamu td pup…. =))

yoan: 😆

yoan: rejeki banget dah tu pasti…

mas hap: nglamar k OVJ aja, mbah…kamu lucu bgt….

yoan: ih.

yoan: salahnya ga pasang pengumuman.

mas hap: 😆

yoan: coba ditulis, sedang diperbaiki. kan aku ga pipisin dia tadi =p

mas hap: kata goro ada judul pilem baru

mas hap: Air Pipis Perawan

mas hap: kwak kwak kawk’

Ya. Mereka tertawa. Menertawakan SAYA. Asem.

Hidup ini memang tidak adil. Cukup kencingi satu orang dan mereka akan selalu ingat tragedi-pipisin-tukang itu seumur hidupmu. Saya mungkin tidak akan bisa mencalonkan diri sebagai walikota karena kasus memalukan ini. Tapi, tak apa. Saya toh memang gak pernah pengen jadi walikota. Ribet. I just wanna live a simple life with my beloved ones and laughing our ass off together at this ridiculous life.

“Untuk Mencintai Seseorang, Butuh Keberanian”

Saya baru selesai baca buku barunya Raditya Dika, Marmut Merah Jambu. Tidak seperti buku-buku sebelumnya yang amat sangat konyol mampus, buku ini agak “berat”. Raditya banyak bercerita tentang cinta. Humornya pun lebih halus. Kata-katanya banyak yang ingin saya kutip =)

“Pada akhirnya, orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa mendoakan. Mereka cuma bisa mendoakan, setelah capek berharap, pengharapan yang ada dari dulu, yang tumbuh dari mulai kecil sekali, hingga makin lama makin besar, lalu semakin lama semakin jauh. Orang yang jatuh cinta diam-diam pada akhirnya menerima. Orang yang jatuh cinta diam-diam paham bahwa kenyataan terkadang berbeda dengan apa yang kita inginkan. Terkadang yang kita inginkan bisa jadi yang tidak kita sesungguhnya kita butuhkan. Dan sebenarnya, yang kita butuhkan hanyalah merelakan. Orang yang jatuh cinta diam-diam hanya bisa, seperti yang mereka selalu lakukan, jatuh cinta sendirian.”

Baca ini, saya miris. Siapa sih yang tidak pernah jatuh cinta diam-diam? Diam-diam memupuk harap, orang itu akan [minimal] menyapa kita. Diam-diam mendoakannya dari kejauhan. Diam-diam memerhatikan objek kecintaan kita dari jauh sampai kadang mungkin hanya dengan melihat sandalnya saja kita sudah sangat bahagia.

Lalu Raditya bercerita tentang belalang sembah. Setiap belalang sembah selesai kawin, belalang betina akan memakan kepala yang jantan. Yang jadi pertanyaan, kenapa masih ada belalang yang mau kawin? Raditya bilang, semua belalang jantan sudah tahu mereka akan mati setelah kawin, tapi mereka tetap mau kawin. Belalang jantan berani mati demi cinta. Hal sama berlaku pada hampir setiap manusia. Dalam hubungan antar lelaki dan perempuan juga terdapat bermacam risiko. Mulai dari salah paham, ngambek, marah, diselingkuhi, patah hati, sampai mungkin bunuh diri. Tapi, seperti belalang, kita tentu “tahu bahwa untuk mencintai seseorang, butuh keberanian.”

Maka jika kamu tidak cukup berani untuk mencintai dan membiarkan orang itu tahu kamu mencintainya, jangan jatuh cinta. Dan nikmatilah hidup ini sendiri saja =).

[Mencoba] Ro *wait for it* mantis… =))

Ehem. Ehem (lagi).

Di antara semua tulisan yang saya sudah posting di sini, inilah yang paling, paling, paling berpotensi membuat orang-orang yang sengaja atau tidak sengaja mampir, muntah-muntah. Bukan cuma muntah biasa, menurut prediksi saya, tapi sampai terasa pahit di lidah karena hanya tinggal air saja yang bisa dimuntahkan.

I twitt. Do you? Di twitter baru-baru ini ada akun @puisiTWITT. Seperti namanya, akun ini mengkhususkan diri untuk memfasilitasi orang-orang untuk mencoba berpuisi, dalam maksimal 140 karakter saja. Daaaaannn… Saya ikut-ikutan dong… 😆

Saya sudah siap kehilangan pengunjung blog karena postingan ini. Ehem. Inilah, saudara-saudara, puisitwitt saya… *ehem* Continue reading

Dan Kita Bisa Terus Tertawa

Hai, kamu yang di sana.

Betah sekali sepertinya. Tak ingin kah menjengukku sekali-sekali? Aku kangen kamu. Ingin sekali lagi menikmati gelap dan ngobrol sampai pagi, berbagi halitosis serta amoniak yang keluar tanpa malu.

Aku sedang entah. Seperti lelah digerogoti rindu rasanya. Ingin bertemu kamu tapi masih tak mungkin rupanya.

Bersediakah menungguku di surga-Nya? Bila kehabisan tempat, mungkin kita bisa nongkrong di pinggir jalan menuju surga. Berdoa saja, para malaikat terlalu sibuk mengurusi tetek bengek surga neraka sampai tak lagi sempat memperhatikan kita.

Dan kita pun bisa terus tertawa…

.

.

[ini tambal sulam dari tulisan saya bertahun lalu. saya lagi ga tau. ga bisa mikir.]


dan lalu, rasa itu

tak mungkin lagi kini

tersimpan di hati

bawa aku pulang, rindu

bersamamu…

dan lalu, air mata

tak mungkin lagi kini

bicara tentang rasa

bawa aku pulang, rindu

segera…

jelajahi waktu ke tempat berteduh

hati kala biru

dan lalu, sekitarku

tak mungkin lagi kini

meringankan lara

bawa aku pulang, rindu

segera…

dan lalu, oh langkahku

tak lagi jauh kini

memudar biruku

jangan lagi pulang

jangan lagi datang

jangan lagi pulang

rindu, pergi jauh…

dan lalu…

[Float – Pulang]

Akhrnya rindu itu memang tak lagi bisa dibohongi

dan walaupun pulang adalah duri termanis yang meruyak dalam nadi tiap pejalan,

aku tetap ingin pulang…

That Thing

Orang kalo lagi jatuh cinta, polanya sama ga ya? Maksudnya, kalo saya lagi dalam kondisi itu, yang keliatan di mata saya tu cuma orang itu. Mukanya doang yang ada. Yang laen terlihat mirip dia, atau lebih jelek dari dia, atau cuma gabungan bibir, idung, dan mata di muka tanpa terlihat jelas raut wajahnya. Err… parah ya?

Trus, sama ngga sih, maksudnya, kalo saya lagi dalam kondisi itu, segala hal mengingatkan saya tentang dia. Saya juga jadi sukaaa banget ngulang-ngulang namanya, menyebutkan satu atau dua suku kata namanya meski cuma dalam hati aja. Trus apa yang ada di dirinya itu keliatan mengkilap, keren, nggak bercela, meskipun misal, kenyataannya postur tubuhnya kayak junkie dan rambutnya jigrak-jigrak kayak abis kesetrum…

Kenapa saya nulis tentang jatuh cinta? Sebenernya nggak kenapa-kenapa juga sih. Cuma lagi pengen ngerasain jatuh-bangun, pontang-panting, panas-dinginnya waktu lagi dalam kondisi itu aja. Pengen ngerasain sakitnya nahan kangen dan nikmatnya waktu akhirnya bisa liat muka objek afeksi kita atau ngerasa amat sangat bersyukur walau cuma bisa dengerin suaranya aja.

Sepupu saya pernah datang dengan teori ini. Katanya, apa mungkin, karena sering nolak orang, kita ini dikutuk? Waktu ada yang suka sama kita, kita muntah-muntah gak suka. Tapi waktu kita suka sama orang, orang itu yang muntah-muntah liat kita. Saya ngga mau percaya sih (meski sempet kepikiran juga =p), saya pikir mungkin karena kita memang orang-orang yang harus berjuang keras kalo perlu sampe eek darah demi mendapatkan apa yang kita inginkan. Atau bisa juga karena standar kita aja yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Well, intinya sih yang beginian ini harus ada aksi resiprokal, timbal balik yang melibatkan dua belah pihak yang berkepentingan. Nggak bisa cuma satu orang aja yang tergila-gila sementara yang lainnya lebih memilih ngutek-ngutek tai ayam ketimbang mencoba menjalani hal itu bersama. Continue reading

Berhenti

Kadang kalo lagi jalan cepet, tiba-tiba pengen berhenti. Menjatuhkan diri ke trotoar, tiduran sebentar dengan pose Vitruvian Man.

Kadang kalo lagi jalan cepet, tiba-tiba pengen berhenti. Nyender bentar di tiang listrik, bernapas yang bener. Pelan-pelan.

Sekarang waktu udah duduk diem, pengen berhenti aja sebentar. Sebentar aja. Berhenti mikirin semua yang belum selesai. Berhenti mikirin orang-orang yang gw sayang tapi ninggalin gw. Berhenti jadi orang cengeng. Berhenti ngeluh. Berhenti. Berhenti. Berhenti.

Untitled

“You!” I said.

“Me?”

‘Yes, you! You! What am I going to do with you?’

‘Do nothing, Erin Law. Just stay and be my friend. And just be careful.’

‘Careful?’

‘Yes, my sister. For there is holes here. There is places to tumble out this world and not get found again.’

[Heaven Eyes dan Erin Law dalam ‘Heaven Eyes’ by David Almond]

Heaven Eyes benar. Dunia ini penuh lubang. Kau bisa terjatuh di mana saja. Lubang yang dangkal memungkinkanmu segera bangun untuk dengan mudah melompat keluar. Lubang yang dalam membuatmu berusaha lebih keras untuk akhirnya bisa merayap lagi ke atas. Dan lubang yang terlalu dalam, bisa saja membuat usahamu berakhir dengan kepasrahan mutlak karena kau tak lagi bisa memikirkan bagaimana cara keluar dari sana sedang suaramu serak karena tak henti berteriak. Ketika yang tertangkap oleh jarak pandangmu hanya pekatnya hitam, kau hanya bisa duduk diam memeluk lutut, kehabisan tenaga dan akal sehat. Satu-satunya yang bisa kau lakukan hanya berharap ada yang menemukanmu dan membantumu keluar menuju cahaya.

Tapi ceritanya bisa jadi berbeda jika kau memang senang berada dalam gelap. Kau mungkin malah ingin selamanya berada dalam lubang itu karena lama-kelamaan kau merasa nyaman di sana. Meski suatu ketika seseorang datang menjulurkan tali dan memintamu memanjat keluar, kau bergeming, tidak mengacuhkannya. Kau sendiri tak terlalu mengerti mengapa kau enggan meraih harapan itu. Tapi mungkin saja kau takut jika tiba-tiba orang itu berubah pikiran, melepaskan tali yang sudah kau genggam erat sehingga tubuhmu terhempas lepas ke tanah keras. Dan akhirnya kau mati pelan-pelan. Sendiri.

[err… dont worry -if you ever worry about me- I’m ok. I laugh a lot these past days.]

Another Nothing

Saya punya kecenderungan menyendiri dan menghindari keramaian. Saya selalu suka setiap kali bisa sendirian dan punya waktu untuk bersama diri saya sendiri. Saja.

Saya benci basa-basi. Saya tidak suka harus pura-pura tersenyum atau ikut menertawakan obrolan yang sama sekali tak lucu. Saya benci jika harus berhadapan dengan orang-orang yang perlakuan buruknya terhadap orang yang saya sayangi tidak akan pernah bisa saya lupakan. Saya tidak pernah bisa menyembunyikan perasaan tak suka saya, rasa muak dan ingin muntah bahkan meludah di depan muka mereka.

Saya sadar pada kecenderungan eskapis saya ini. Tapi lebih baik saya melarikan diri dengan menyendiri ketimbang harus bermanis-manis, atau (meminjam istilah seorang kakak) berusaha menanam tebu di pinggir bibir.

Tapi sore itu ketika melihat ayah saya dan ketiga adiknya bercengkerama dengan bahagia, mata saya dipenuhi iri. Betapa senangnya di masa tua mereka punya saudara-saudara baik yang saling sayang, saling mengunjungi, tempat mereka bisa saling berbagi masa lalu yang berakar kuat dalam diri mereka. Sementara saya hanya sendirian.

Saat itu saya tidak ingin pergi. Saya mau tetap di sana, menjadi bagian dari percakapan mereka. Meskipun itu membuat saya tidak bisa berhenti berpikir, waktu saya tua nanti, dengan siapa saya akan berbagi masa lalu?

Sore itu saya merasa benar-benar sendiri dan untuk pertama kalinya merasa tidak nyaman dengan kesendirian ini.

(See? I’m full of hate… What am I going to do with myself, I really don’t have a clue…)

Ini tadinya mau saya protek, tapi saya pikir, sudahlah. Toh yang baca blog ini sudah tau kalo saya memang nggak beres…

Am I Part of The Cure, or Am I Part of The Disease?

Saya lagi-lagi bertemu 31 Desember. Jatah umur saya berkurang lagi (dan saya bersyukur belum mati karena bunuh diri). Tahun ini cukup baik pada saya. Pekerjaan baru (yang cukup saya sukai) di awal 2009 (meskipun dengan status yang tidak jelas dan job description yang juga tidak jelas, tapi ketidakjelasan itu ternyata tidak cukup untuk membuat saya mengulangi kejadian di tahun sebelumnya, dan syukurlah di akhir tahun ini semuanya menjadi lebih jelas =)). Beberapa orang baru datang dalam hidup saya, dan beberapa pergi entah ke mana karena kebodohan saya atau kebodohan mereka, atau kebodohan kami semua, atau hanya takdir, atau entahlah apa sebabnya. Continue reading